Jamaah Tabligh merupakan
sebutan bagi gerakan dakwah asal India yang diperkirakan muncul pada tahun
1970-an di Indonesia. Dikutip dari buku Koreksi Tuntas Terhadap Jamaah Tabligh,
Abdul Aziz bin Rais Ar-Rais Hamud bin Abdullah bin Hamud At-Tuwaijiri (2019:
31), gerakan jamaah tabligh tersebut dikenal juga sebagai gerakan dakwah
sekaligus pengorbanan.
Jama’ah Tabligh yang muncul
di awal tahun 1980-an merupakan salah satu kelompok keagamaan yang berorientasi
menjalankan misi dakwahnya. Kelompok ini memiliki keunikan dan kekhasan
tersendiri dibandingkan dengan aliran-aliran lain yang lebih dulu muncul di
Indonesia. Keunikan dan kekhasan Jama’ah Tabligh terlihat pada gerakan
dakwahnya yang keluar meninggalkan rumah dan keluarganya dalam waktu tertentu
menuju satu perkampungan atau daerah secara berpindah-pindah dari satu kampung
ke kampung yang lain, dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu masjid ke
masjid yang lain. Kegiatan ini disebut dengan khuruj atau keluar berjauhan
dari rumah. Kekhasan lain dari Jama’ah Tabligh adalah mereka selalu memelihara
jenggot dan mengenakan baju panjang, membalut kepala dengan kain serta memakai
celana panjang di atas mata kaki. Oleh karena itu, keunikan ini sebagai
representasi Jama’ah Tabligh yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan
organisasi-organisasi dakwah Islam lainnya. Perbedaan itu disebabkan karena
dasar filosofinya, latarbelakang dan tujuan gerakannya, faham keagamaan dan
kerangka berfikir para pendahulunya. Kelompok Jamaah Tabligh yang didirikan
Maulana Muhammad Ilyas ini memiliki prinsip sebagai falsafahnya, untuk selalu
taat dan patuh kepada segala perintah Allah SWT yang mesti dilakukan dan sebaliknya
menghindari segala larangannya, dengan merujukkan semua amalannya kepada sikap
dan perilaku Rasulullah saw.
Pemikiran ini didasarkan
pada alasan bahwa dengan cara demikian Islam bisa terjaga secara baik dalam
diri setiap Muslim. Sebaliknya, dengan tanpa meniru sikap dan perilaku Nabi,
Islam akan hancur dan musnah ditelan waktu. Gagasan ini tampaknya sesuai dengan
hadis Nabi yang menyebutkan bahwa suatu saat nanti Islam tidak akan tinggal
kecuali hanya simbol-simbolnya saja. Pemikiran utama beliau lainnya, sebagai
bentuk kecintaan dan ketaatannya terhadap Rasul ialah hidup zuhud, suka
berkhalwat, dan berdzikir. Sebagaimana disinggung di awal, hal ini mengarah
kearah kesufian. Menanggapi hal tersebut, ditegaskan oleh Ghulam Mustafa Hasan,
corak sufi ini sama sekali tidak dicampur adukkan dengan usaha dakwahnya. Bagi
Muhammad Ilyas usaha dakwah yang terbina dalam Jama'ah Tabligh bukan ditujukan
untuk membentuk suatu kelompok tertentu, apalagi tarekat tertentu, melainkan
suatu wadah dan cara yang universal dan komprehensif guna menghimpun umat Islam
dalam suatu ikatan yang kokoh. Bila sudah terjalin ikatan tersebut, maka Islam
menjadi tidak tertandingi, dan secara mudah bisa membina umatnya menuju kepada
hidup yang lebih diridhai Nya. Maka dari itu, sebenarnya Jama'ah Tabligh mampu
menampung serta menghimpun seluruh kekuatan Islam yang terkotak-kotak dalam
kelompok-kelompok tertentu. Di samping itu, kelompok
ini juga memandang perlunya kembali kepada ajaran serta tuntutan Rasulullah
Muhammad secara utuh dan apa adanya (salaf), di samping juga karena melihat
kelemahan-kelemahan yang terjadi pada masyarakat muslim dalam melakukan dakwah.
Di Masjid Al-Muhajirin sendiri beberapa anggotanya simpatisan dengan adanya Jamaah Tabligh yang
menginjaki masjid tersebut, pasalnya ada beberapa warga perumahan pamungkas
yang terdaftar sebagai Jamaah Tabligh. Untuk itu para warga dan jamaah
perumahan pamungkas sangat welcome dengan adanya jamaah
tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar